3/07/2023

Sistem Tanam Paksa di Masa Penjajahan Belanda : Latar Belakang, Ketentuan, Pelaksanaan, Tokoh- Tokoh Penentang, dan Penyebab Berakhirnya

Permasalahan ekonomi yang dialami oleh pemerintah Belanda membuat jajaran pemerintah mencari cara agar persoalan tersebut dapat segera diatasi. Salah seorang tokoh Belanda Johannes Van den Bosch mengusulkan kepada Raja Belanda terkait sistem dan tata cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia yang ditujukan untuk memperbaiki ekonomi pemerintah. Adapun usulannya adalah dilakukannya penanaman tanaman yang dapat laku di pasaran dunia.

Van den Bosch juga berpendapat bahwa sistem  penanaman dilakukan dengan cara kerja rodi sesuai dengan kebiasaan kaum pribumi atau petani. Melalui sistem kerja rodi tersebut, penanaman tanaman yang dilakukan oleh para petani bersifat wajib. Dia menambahkan bahwa daerah jajahan merupakan tempat eksploitasi sebanyak mungkin untuk diambil keuntungannya bagi negeri induk. 

Gambar oleh Tumisu, please consider ☕ Thank you! 🤗 dari Pixabay

Cultuurstelsel
Konsep Bosch dikenal dengan sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel. Cara ini dipandang tepat untuk memulihkan perekonomian pemerintah Belanda. Melalui sistem tanam paksa inilah  ekspor hasil tanaman akan meningkat kurang lebih f.15 sampai f20 juta setiap tahunnya jadi sangat mennguntungkan bagi pihak Belanda. Raja Willem menyetujui usulan Van den Bosch dan mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal baru di Jawa. 

Secara umum Tanam Paksa mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia seperti kopi, tembakau, tebu, dan nila. 

Ketentuan Sistem Tanam Paksa
Sistem tanam paksa memiliki beberapa ketentuan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut tertuang dalam lembaran negara (Staatsblad) nomor 22 tahun 1834 yang memuat :
  • Kewajiban penduduk dalam menyediakan sebagian tanahnya untuk keperluan pelaksanaan tanam paksa.
  • Tanah penduduk seluas 1/5  harus ditanami oleh tanaman kopi, tebu, nilai, tembakau teh, karet dan pala.
  • Para petani diberikan keleluasaan untuk mengolah tanah lain untuk keperluan hidupnya.
  • Durasi waktu untuk pekerjaan menanam tanaman yang wajib dalam sistem Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  • Lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  • Hasil garapan tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa harus diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Apabila harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.
  • Kegagalan panen menjadi tanggung jawab pemerintah apabila bukan merupakan kesalahan dari para petani.
  • Para penguasa pribumi secara langsung mengawasi penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa, sementara itu pegawai-pegawai Eropa yang bertindak melakukan pengawasan secara umum.
  • Penduduk yang bukan petani atau tidak memiliki tanah pertanian, maka diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.

Ketentuan yang tertulis menurut lembaran negara (Staatsblad) tersebut terkesan tidak memberatkan pihak petani dalam hal ini rakyat karena beberapa poin yang disebutkan masih dalam batas kewajaran akan nilai- nilai kemanusiaan.

Penyelewengan Sistem Tanam Paksa
Van den Bosch berpendapat dalam pelaksanaan sistem tanam paksa wajib menggunakan organisasi dan kekuasaan tradisional seperti melibatkan para pejabat bumiputra, kaum priyayi dan perangkat desa. 

Kaum- kaum inilah yang akan menggerakkan para petani dalam melaksanakan program tersebut. Pada akhirnya para penguasa pribumi hanyalah sebuah alat dari puhak kolonial yang mana memiliki hak- hak istimewaa seperti kepemilikan atas tanah maupun hak istimewa lainnya. 

Pengerahan tenaga manusia dilakukan dengan sambatan, gotong royong maupun gugur gunung. Peran penguasa pribumi seperti kepala desa adalah menggrakkan para petani dan sekaligus penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah. 

Meskipun kepala desa memiliki peran sentral namun mereka masih berada di bawah pengaruh pamong praja. Pemerintah kolonial menyiapkan bonus atau cultuur procenten  untuk penguasa pribumi dan kepala desa dalam menjalankan tugasnya. Bonus dihitung berdasarkan banyaknya setoran yang dilakukan petani kepada pemerintah, dalam artian semakin banyak setoran maka semakin besar pula  bonus yang didapatkan. Ternyata sistem tersebut rawan terjadinya penyelewengan.  

Salah satu contohnya terdapat pada ketentuan kepemilikian tanah yang pada mulanya luas tanah yang disediakan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah yang dimiliki petani, namun praktiknya ada yang melebihi dari ketentuan, ada yang sepertiga bahkan sampai setengah dari luas tanah yang dimiliki petani. Hal ini dilakukan untuk mengejar setoran yang berimbas pada penerimaan bonus. 

Selain ketentuan pemanfaatan lahan pertanian untuk tanam paksa, penyelewengan juga berlaku pada waktu pengerjaan penanaman tanaman untuk tanam paksa yang sebelumnya tidak boleh melebihi waktu tanam padi. Pada kenyataannya tanam paksa melebihi dalam waktu pengerjaan tanam. Kembali lagi hal tersebut semata- mata untuk menarik setoran yang lebih banyak dan menguntungkan. 

Penderitaan Rakyat Akibat Sistem Tanam Paksa
Sistem tanam paksa dalam pelaksanaannya juga disertai dengan kekerasan untuk menakut- nakuti para petani. Sebagai dampak dari Sistem Tanam Paksa, rakyat mengalami penderitaan yang sangat hebat. Keharusan menanam tanaman yang ditentukan dengan Tanam Paksa membuat mereka berfokus pada kewajiban terhadap pemerintah sehingga melalaikan nasib sendiri bahkan keluarganya. Banyak kematian akibat kelaparan di berbagai daerah sebagai dampak Tanam Paksa.

Sementara itu di pihak Belanda, sistem tanam paksa membawa keuntungan yang sangat besar. Keuntungan tersebut dapat melunasi hutang- hutang VOC dan membangun benteng pertahanan.

Pertentangan Tokoh- Tokoh Belanda
Tindakan penyelewengan Sistem Tanam Paksa ternyata ditentang oleh tokoh- tokoh Belanda. Adapun tokoh- tokoh yang menentang adalah :
Dr. Eduard Douwes Dekker
Melalui buku Max hacveelar, ia menyampaikan kritik terhadap Sistem Tanam Paksa. Ia menggunakan nama samaran Multatuli yang berarti saya menderita.

Baron Van Hoevel
Baron van Hoevel merupakan seorang pendeta yang pernah tinggal di Indonesia pada tahun 1847 dimana ia terkenal sebagai pembela rakyat Indonesia melalui pidato- pidatonya di depan dewan pemerintah Belanda.

Fransen Von dor Putte
Fransen Von dor Putte menulis buku berjudul Suiker Cobtracten yang berisi kecaman- kecaman pelaksanaan tanam paksa di Indonesia.

P. Markus
P. Markus mengusulkan penghapusan tanam paksa karena menimbulkan penderitaan bagi rakyat dan melanggar kebebasan.

L. Vitalis
L. Vitalis juga mengusulkan agar tanam paksa dihapus karena merugikan pertanian rakyat. 

Dr. W Bosch
Dr. W Bosch merupakan pegawa Dinas Kesehatan Belanda yang mengusulkan agar tanam paksa dihapus karena menimbulkan kemiskinan rakyat.

Akhir Tanam Paksa
Terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak- kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute yang memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan Tanam paksa mendorong pelaksanaan Sistem Tanam Paksa diakhiri.

Itulah pelaksanaan sistem tanam paksa di masa penjajahan Belanda. Sistem Tanam paksa diakhiri dengan pertentangan beberapa tokoh Belanda, namun kemudian sistem tanam paksa digantikan dengan sistem liberal atau sistem politik pintu terbuka. Nah, penasaran sistem seperti apakah itu? Kita lanjutkan pada tulisan mendatang. 

Salam. 

No comments:

Post a Comment