3/14/2023

Sejarah Perang Diponegoro : Latar Belakang dan Sebab terjadinya Perang, Strategi, serta Akhir Perang

Perang Diponegoro disebut juga sebagai Perang Jawa, merupakan salah satu perang besar yang di hadapi Belanda di Jawa. Perang ini berlangsung selama lima tahun yaitu dari 1825 sampai 1830 dengan kerugian yang tidak sedikit baik dari pihak rakyat Indonesia maupun Belanda. 

Latar Belakang
Perang Diponegoro sendiri dipicu oleh banyak hal, salah satunya adalah campur tangan kolonial terhadap pemerintahan lokal khususnya di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta, penderitaan rakyat dan pelecehan harga diri dan nilai- nilai budaya masyarakat. 

Photo by Randy Tarampi on Unsplash

Intervensi Belanda terhadap kepentingan Kerajaan
Campur tangan tersebut juga secara tidak langsung menggeser nilai- nilai dan budaya yang sebelumnya dengan budaya baru khususnya budaya barat. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan yang tidak sesuai nilai dan adat seperti minum minuman keras dan sebagainya.

Kebijakan yang memberatkan Rakyat
Pemerintah kolonial juga menerapkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat bahkan cenderung memeras rakyat dengan aturan- aturan yang dibuat. Sistem penyewaan tanah oleh pengusaha asing untuk kepentingan perkebunan dirasa tidak menguntungkan rakyat, malahan menjadikan rakyat sebagai sapi perahan yang menjadi tenaga kerja paksa di tanah mereka sendiri.

Selain itu, pembebanan pajak juga menimbulkan keberatan dan kekecewaan rakyat yaitu kewajiban dalam membayar berbagai jenis pajak diantaranya :
  • Pajak tanah (welah welah)
  • Pajak halaman pekarangan (pengawang awang)
  • Pajak Jumlah pintu (Pecumpling)
  • Pajak Ternak (pajigar)
  • Pajak pindah nama (penyongket)
  • Pajak menyewa tanah atau menerima jabatan (bekti)

Pertentangan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda
Pangeran Diponegoro merupakan putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo. Pertentangan Pangeran Diponegoro diawali dengan rasa ketidakpuasan akan sikap Belanda yang semena- mena dan menindas rakyat. Selain itu juga dipicu oleh budaya barat yang tidak sesuai dengan norma dan nilai- nilai budaya timur. 

Insiden Pemasangan Patok
Awal mula perang Diponegoro disebabkan sebuah insiden pemasangan patok- patok untuk jalan baru melewati pekarangan miliki Pangeran Diponegoro tanpa izin. Pemasangan ini dilakukan oleh residen di Yogyakarta yang bernama Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert, yang dikenal sangat benci terhadap Pangeran Diponegoro. Smissaert tidak sendirian dalam melancarkan aksinya, ia dibantu oleh Patih Danurejo yang juga berusaha menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Patok- patok yang dipasang kemudian di cabut oleh pengikut Pangeran Diponegoro namun Patih Danurejo memerintahkan memasangnya kembali dan akhirnya atas keberanian pengikut Pangeran Diponegoro, patok- patok yang dipasang kembali dicabut. 

Insiden pemasangan patok tersebut menjadi pemicu langsung meletusnya perang. Pada 20 Juli 1825 Rakyat Tegalrejo berkumpul di kediaman Pangeran Diponegoro dengan menyatakan kesetiaannya terhadap Pangeran dan siap melawan Belanda. Belanda lantas mengepung kediaman Pangeran Diponegoro dan terjadilah pertempuran sengit yang menyebabkan Tegalrejo dihancurkan. Pangeran dan pengikutnya lalu mundur ke arah selatan ke bukit Selarong dan membangun benteng pertahanan di Gua Selarong. 

Dalam perang yang berkecamuk, Pangeran Diponegoro yang didaulat sebagai pemimpin, mendapatkan dukungan penuh dari rakyat jelata maupun kaum bangsawan yang terdiri daripara pangeran, priyayi sepuh, dan para bupati. Berbagai bala bantuan diberikan sesuai dengan kemampuan meraka masing- masing. 

Strategi perang pun disusun di Selarong. Beberapa langkah- langkah Pangeran Diponegoro yang ditempuh adalah sebagai berikut :
  1. merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan cara menutup gerak pasukan Belanda dan mencegah masuk bantuan dari luar. 
  2. mengirim utusan kepada para bupati dan ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda. 
  3. mendaftar nama bangsawan, untuk mengetahui kawan maupun lawan.s
  4. membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi 16 wilayah perang, dan menunjuk para pemimpinnya

Adapun wilayah tersebut mencakup :
  • Yogyakarta dan sekitarnya di bawah pimpinan Pangeran Adinegoro (adik Diponegoro) 
  • Bagelen dipimpin oleh Pangeran Suryokusumo dan Tumenggung Reksoprojo. 
  • Kedu diserahkan kepada Kiai Muhammad Anfal dan Mulyosentiko serta Kiai Hasan Besari Pangeran Abubakar
  • Lowanu dipimpin oleh Pangeran Abu Bakar dan Pangeran Muhammad 
  • Kulon Progo dipimpin oleh Pangeran Adisuryo dan Pangeran Somonegoro
  • Yogyakarta bagian utara dipimpin oleh Pangeran Joyokusumo.
  • Yogyakarta bagian timur dipimpin oleh Suryonegoro, Somodiningrat, dan Suronegoro. 
  • Gunung Kidul dipimpin oleh Pangeran Singosari. 
  • Plered dipimpin oleh Kertopengalasan
  • Pajang diserahkan kepada Warsokusumo dan Mertoloyo, 
  • Sukowati dipimpin oleh Tumenggung Kertodirjo dan Mangunnegoro.
  • Gowong dipimpin oleh Tumenggung Gajah Pernolo
  • Langon dipimpin oleh Pangeran Notobroto Projo
  • Serang dipimpin oleh Pangeran Serang.

Pangeran Diponegoro sendiri merupakan pucuk pimpinan yang didampingi oleh Pangeran Mangkubumi yaitu Paman Pangeran Diponegoro, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya. Sementara itu dukungan penuh juga dari Nyi Ageng Serang yang sejak remaja sudah anti terhadap Belanda.

Serangan Balasan
Selang tiga minggu setelah penyerangan di Tegalrejo, Pasukan Diponegoro balas menyerang ke keraton. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Sollewijn berhasil diporak porandakan dan keraton berhasil diduduki oleh Pangeran Diponegoro. 

Dalam berbagai penyerangannya, Pangeran Diponegoro banyak mendapatkan kemenangan. Pangeran Diponegoro dengan semangat Perang Sabil nya berhasil membuat pihak Belanda kalang kabut. Satu demi satu wilayah dan pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Para ulama dan pengikutnya menganugerahi gelar untuk Pangeran Diponegoro dengan sebutan Sultan Abdulhamid Herucokro.

Perang Jawa
Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro mencakup ke wilayah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang lalu ke arah timur sampai dengan Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro seolah- olah mampu menggerakkan lini kekuatan di seluruh Jawa sehingga seringkali Perang Diponegoro ini disebut sebagai Perang Jawa. 

Kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro harus diimbangi Belanda dengan meningkatkan kekuatannya. Jenderal de Kock selaku pimpinan perang Belanda mengirimkan beberapa komandan tempur untuk wilayah - wilayah tertentu seperti Letkol Clurens ke Tegal 
dan Pekalongan serta Letkol Diell ke wilayah Banyumas.

Strategi Perang
Pangeran Diponegoro menerapkan beberapa strategi perang diantaranya adalah :
  1. Penyerangan langsung, dengan melibatkan pasukan yang besar
  2. Perang gerilya
  3. Perang atrisi (penjemuan) yang menerapkan perang jangka panjang agar pihak Belanda merasa bosan.
Strategi Benteng Stelsel
Dalam perlawanannya, pasukan Pangeran Diponegoro selalu bergerak antarpos pertahanan satu ke lainnya sehingga membuat Belanda kebingungan. Karenanya, untuk menghadapi strategi perang dari Pangeran Diponegoro ini, pihak Belanda menerapkan strategi Benteng Stelsel.

Strategi Benteng Stelsel menghubungkan benteng pertahanan satu dengan lainnya dimana pusat kekuatan militer berada di Magelang. Sistem ini mampu sedikit demi sedikit mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro. 

Strategi ini juga mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Banyak diantara pemimpinnya ditangkap namun perlawanan masih terjadi di beberapa wilayah. 

Perlawanan yang paling menyita perhatian adalah penyerangan oleh pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo yang mampu membunuh Kapten Ingen. Pasukan Belanda difokuskan untuk menanggulangi dan mempersempit ruang pasukan Sentot Prawirodirjo.

Untuk meredam perlawanannya, bahkan Belanda pernah berkali- kali mengajak Sentot Prawirodirjo untuk melakukan perundingan, namun tidak sekalipun diterima.

Akhirnya Belanda meminta bantuan Aria Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot Prawirodirjo untuk berunding dan Sentot Prawirodirjo pun menyanggupinya. Sehingga pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatanganilah Perjanjian Imogiri antara Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda yang berisi :
  1. Pemberian izin Sentot Prawirodirjo untuk tetap memeluk agama Islam.
  2. Sentot Prawirodirjo tetap sebagai pemimpin dari pasukan pasalnya pasukannya tidak dibubarkan.
  3. Kebebasan bagi Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya untuk tetap memakai sorban.
Akhir Perang
Dengan masuknya Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya pada tanggal 24 Oktober 1829 menandai bahwa ia secara resmi menyerahkan diri. Penyerahan diri Sentot Prawirodirjo dan tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro seperti Kyai Maja dan Pangeran Mangkubumi membuat perlawanan semakin berat. 

Pada bulan Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di Magelang, Jawa Tengah namun sebenarnya perundingan tersebut hanyalah sebuah tipu muslihat untuk mengangkap Pangeran Diponegoro. Beliau kemudian ditangkap dan diasingkan  ke Manado, lalu ke Makassar hingga wafat tahun 1855.

Itulah Perang Diponegoro yang disebut- sebut sebagai Perang besar di Jawa yang pernah terjadi. Belasan ribu tentara di pihak Belanda tewas dan ratusan ribu penduduk menjadi korban meninggal  menunjukkan bahwa rakyat Indonesia begitu gigih dalam melawan tindak kolonial Belanda yang tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan keadilan. Bagaimana dengan orang- orang zaman sekarang? apakah segigih zaman dahulu? Coba kemukakan pendapatnya di kolom komentar ya.

No comments:

Post a Comment