2/28/2023

Sejarah tentang VOC: Latar Belakang, Hak dan Wewenang, serta Penyebab Kemundurannya

Tujuan kedatangan orang Eropa di dunia Timur adalah untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan. Hal ini dicapai setelah bangsa Eropa menemukan rempah-rempah di Nusantara. Faktor inilah yang menyebabkan bangsa Eropa lain datang ke Nusantara. Mereka bersaing satu sama lain dalam bisnis untuk memperkuat posisi mereka dengan membentuk aliansi bisnis.

Pada tahun 1600, Inggris membentuk persekutuan dagang yang disebut East India Company (EIC). Kemitraan bisnis EIC berkantor pusat di India. Posisi Inggris di dunia Timur begitu kuat bahkan berhasil menanamkan kekuasaannya di Nusantara.

Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash

Latar Belakang Berdirinya VOC
Persaingan juga cukup sengit di antara perusahaan dagang Belanda. Semua orang ingin mengalahkan kelompok dagang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Tentu saja persaingan ini akan menimbulkan kerugian tersendiri bagi pemerintah Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1598 pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten General) mengusulkan agar persekutuan niaga Belanda dilebur menjadi satu badan usaha yang lebih besar. Kemudian empat tahun kemudian, pada tanggal 20 Maret 1602, sebuah konfederasi mitra dagang Belanda di Nusantara resmi didirikan sebagai penggabungan dari kemitraan yang ada. Kemitraan bisnis Belanda itu disebut Vereenigde Oost Indien Compagnie (VOC) atau "Asosiasi Perusahaan Dagang India Timur / Kemitraan Dagang India Timur".

Adapun VOC cdidirikan dengan tujuan sebagai berikut:

  1. Menghindari persaingan tidak sehat antara kelompok/lembaga bisnis Belanda yang ada;
  2. Memperkuat posisi pedagang Belanda dalam persaingan dengan pedagang dari negara lain,
  3. Sebagai kekuatan revolusioner (dalam Perang 80 Tahun) sehingga VOC memiliki tentara.

Kursi Dewan berada di Amsterdam. VOC dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari 17 direktur. Dewan VOC sering disebut dengan (Heeren XVII) atau “Dewan Tujuh Belas”. Heeren XVII ditujukan untuk para bangsawan, adipati, bangsawan, dari 17 provinsi di Belanda sebagai pemegang saham VOC. Pemegang saham terdiri dari delapan perwakilan pelabuhan perdagangan Belanda. 

Wewenang dan Hak- Hak VOC
Ada beberapa wewenang dan hak VOC (octroi rights) dalam menjalankan tugasnya, antara lain:

  1. Pelaksanaan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan dan Selat Magellan, termasuk wilayah kepulauan;
  2. Membentuk angkatan bersenjata sendiri;
  3. Berperang;
  4. Membuat perjanjian dengan raja setempat;
  5. Mencetak dan menerbitkan mata uang sendiri;
  6. Mempekerjakan karyawannya sendiri; 
  7. Membuat aturan di pemukiman;

Kekuasaan VOC
Kekuasaan dan hak yang luas ini menunjukkan bahwa VOC adalah organisasi komersiil yang memiliki hak penuh seperti sebuah negara. Mereka dapat membentuk pasukan, berperang dan memperluas wilayah mereka ke daerah lain untuk memperluas kekuasaan mereka. Kewenangan dan hak militer memungkinkan VOC menggunakan angkatan bersenjata untuk memajukan kepentingannya. Sebagai contoh pada tahun 1605 VOC berhasil mengusir Portugis dari Ambon dengan menduduki benteng Portugis yang kemudian disebut Fort Nieuw Victoria.

VOC kemudian menciptakan posisi baru dalam organisasi yaitu Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal merupakan jabatan tertinggi yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan kekuasaan di daerah jajahan VOC. Selain itu, "Dewan India" (Raad van Indie) didirikan untuk memberi nasihat dan mengawasi kepemimpinan Gubernur Jenderal.

Pieter Both (1602-1614) adalah gubernur jenderal pertama VOC. Pieter Both mulai mengatur monopoli perdagangan untuk VOC di India Timur. Adapun langkah yang ditempuhnya adalah sebagai berikut:
  1. Mendirikan stasiun perdagangan di Banten pada tahun 1610 dan kemudian datang ke Jayakarta. Saat itu, penguasa Jayakarta, Pangeran Wijayakrama, sangat terbuka untuk berdagang
  2. Membuat kesepakatan dengan penguasa Jakarta untuk membeli sebidang tanah wadem berukuran 50 x 50 di sebelah timur (tinggi wadem 182 cm). Bangunan batu alam berlantai dua dibangun di atas properti ini sebagai bangunan tempat tinggal, kantor, dan gudang. 
  3. Membuat perjanjian dan memantapkan pengaruh di Maluku dan berhasil mendirikan pos perdagangan di Ambon. 
Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst pada tahun 1614. Kira-kira setahun kemudian digantikan oleh Gubernur Jenderal baru, yaitu Laurens Reael (1615-1619). Pada masa kepemimpinannya, Laurens Reael berhasil membangun Gedung Mauritius di tepi Sungai Ciliwung.


Perlawanan Rakyat terhadap VOC
Awalnya, Belanda di VOC berhubungan baik dengan rakyat untuk menjaga kelancaran hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara. Namun, VOC menggunakan sikap baik rakyat untuk memperkuat posisinya di Nusantara. Lambat laun VOC mulai menunjukkan keangkuhan dan keangkuhannya.

VOC sering menggunakan paksaan dan kekerasan terhadap penduduk asli, yang menyebabkan kemarahan penduduk dan pihak kerajaan, sehingga sering menimbulkan perlawanan rakyat dan lokal.

Perlawanan rakyat dan penguasa kerajaan terjadi pada pada tahun 1618, dimana Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil mengusir VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku. Setelah VOC hengkang dari Jayakarta, pasukan Banten pada awal tahun 1619 juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian, Jayakarta sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.

Pada tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang berani dan kejam serta ambisius. Oleh karena itu, merasa bangsanya dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta, maka J.P. Coen mempersiapkan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan laut dengan 18 kapal perangnya mengepung Jayakarta. Jayakarta akhirnya dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas puing - puing kota Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan di Belanda. Kota baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta.


Eksploitasi Kekayaan Alam Indonesia oleh VOC
J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang ambisius untuk menguasai berbagai wilayah di Indonesia. Ia juga dapat dikatakan sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia. Disertai dengan sikap sombong dan tindakan yang kejam, J.P. Coen berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi Nusantara untuk keuntungan pribadi dan negerinya. Cara-cara VOC untuk meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:
  1. Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli, seperti monopoli rempah-rempah di Maluku; 
  2. Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian. Cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum pribumi, tetapi yang penting VOC dapat memperoleh hasil-hasil pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan paksaan;
  3. VOC selalu mengincar dan berusaha keras untuk menduduki tempat - tempat yang  memiliki posisi strategis. Cara-cara yang dilakukan, di samping dengan kekerasan dan peperangan, juga melakukan politik adu domba; 
  4. VOC melakukan campur tangan (intervensi) terhadap kerajaan - kerajaan di Nusantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli, serta melakukan intervensi dalam pergantian penguasa lokal;
  5. Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap dipertahankan dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, kalau tidak mau baru diperangi;


Politik de vide et impera
Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan di Nusantara, pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negeri Belanda. Ia menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter de Carpentier. Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya. J.P. Coen semakin sombong dan kejam dalam menjalankan kekuasaannya di Nusantara. Berbagai bentuk tindakan kekerasan, tipu muslihat dan politik  devide et impera terus dilakukan.

Politik devide et impera dan berbagai tipu daya juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Salah satunya adalah ketika Kerajaan Mataram Islam yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC. Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC, Raja Pakubuwana II yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram Islam kepada VOC pada tahun 1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar Jawa berusaha ditaklukkan.

Selain itu untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian barat dan memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka. Hal ini terjadi setelah VOC mengalahkan saingannya, yakni Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan Makassar di bawah Sultan Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian timur juga berhasil dikalahkan setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667.


Kemunduran dan Kebangkrutan VOC
Meskipun VOC mengalami masa kejayaan dengan luasnya wilayah perdagangan, namun ada berbagai persoalan yang membuat VOC mengalami kemunduran. Berikut faktor- faktor yang menyebabkan VOC mundur dan mengalami kebangkrutan:  
  1. Pengelolaan semakin kompleks karena semakin banyak daerah yang dikuasai 
  2. Kepentingan para pengurus VOC untuk memperkaya diri sehingga mengabaikan kepentingan para pemegang saham
  3. Serangkaian perang yang telah dilakukan VOC membuat beban hutang VOC semakin besar
  4. Sikap para pejabat VOC yang gila hormat dan ingin berfoya-foya membuat beban anggaran meningkat 
  5. Korupsi yang dilakukan para pejabat VOC karena kehormatan dan kemewahan sesaat

Dikarenakan faktor- faktor tersebut akhirnya pada tanggal 31 Desember 1799,  VOC resmi dibubarkan. Itulah sekilas tentang perjalanan VOC dalam mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dan menerapkan imperialisme dan kolonialisme di Indonesia. 

No comments:

Post a Comment